Membaca dari Masa ke Masa

Kami Relawan  -  4 years ago
Image placeholder

Seorang komedian pernah mengkritik, “Eee, tunggu dulu! Bangsa ini sudah punya kebiasaan membaca atau belum? Bagaimana mau menulis kalau membaca saja belum menjadi santapan setiap hari?”

 

Melansir dari Historia.id, kutipan ini bersumber dari artikel yang diterbitkan tahun 90-an. Artikel tersebut menjabarkan kritik Prof. Wahyu Sardono terhadap sikap sekelompok orang yang menuntut komedian agar membawakan acara komedi dengan naskah. Bagi mereka, naskah adalah patokan mutlak humor kritis dan cerdas. Komedian yang akrab dipanggil Dono itu, jelas tidak setuju dengan pandangan tersebut. Mereka dianggap tidak menyadari kemampuan bangsanya.

 

Pada tahun itu, Dono mampu melihat bahwa potensi Bangsa Indonesia masih minim. Apalagi di bidang membaca. Padahal, membaca adalah salah satu proses paling pertama dalam perkembangan manusia untuk dapat mengenal dirinya, lingkungannya dan memperluas wawasannya.

 

Dari artikel itu, kemudian saya bertanya, sudah dimanakah bangsa kita saat ini? Apakah pendidikan kita sudah mampu membuat bangsa ini mempunyai kebiasaan membaca setiap hari?

 

Lalu saya mulai menelusuri perkembangan sistem pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan yang dimulai dari Kurikulum Rentjana Pelajaran tahun 1947, telah mengalami sebanyak 10 kali pergantian kurikulum sampai saat ini. Jenjang wajib belajar bagi masyarakat Indonesia ditingkatkan hingga 12 tahun yang semula hanya 9 tahun. Jenjang itu meliputi 6 tahun untuk pendidikan dasar, 3 tahun untuk pendidikan menengah pertama, dan 3 tahun untuk pendidikan menengah atas. Disiapkan juga standar nilai, instansi pendidikan dengan bermacam-macam konsep, sampai ragam model pembelajaran.

 

Lalu berbondong-bondong masyarakat mulai mengikuti sistem pendidikan yang sudah ada. Memenuhi wajib belajar 12 tahun, mengikuti kelas dengan aktif, mendapatkan ijazah, lalu kemudian bekerja dan menuntut generasi berikutnya untuk melakukan proses yang sama seperti itu, bak roda yang berputar. Lalu saya bergeming, apa bedanya kita dengan kelompok yang sedang dikritik Dono, yang menetapkan naskah sebagai patokan mutlak humor dikatakan cerdas dan kritis?

 

Menjawab pertanyaan Prof. Dono nampaknya mudah diawal, tapi setelah dipikir lebih jauh, pertanyaan ini sangat mendasar. Sistem pendidikan hanyalah kerangka untuk membuat standarisasi, bagaimana seharusnya kecerdasan masyarakat yang ada di Indonesia diukur. Kita lupa bahwa, kondisi masyarakat dan bagaimana masyarakat memandang serta merespon perubahan yang ada di Bangsa inilah, yang menjadi patokan, sudah sejauh mana Bangsa ini bergerak.

 

Dari sini, saya mendapatkan definisi baru. Membaca bagi Prof. Dono, bisa jadi tidak hanya sekedar melakukan proses koding pengetahuan ke dalam otak, tapi lebih jauh menjadi pelumas bagi manusia untuk melahirkan cara pandang dan tindakan yang terus bergerak melampaui zaman. Anggap saja, membaca adalah makanan yang disantap setiap hari agar kita mendapatkan energi untuk beraktifitas. Jika energi kita banyak dan sehat, kita akan tumbuh dengan kuat dan semangat, begitupun sebaliknya. Dan apa yang kita santap itulah, yang menentukan keberlangsungan hidup tubuh kita di masa mendatang.

 

Membaca haruslah menghasilkan energi. Energi yang mempertajam tumbuhkembang bangsa, dan energi yang mampu menjawab permasalahan sosial bangsa ini. Energi itu bermacam rupa, adakalanya bermanfaat, atau berakhir menyebabkan penyakit. Bisa jadi menguatkan, atau melemahkan. Rupa energi itulah yang akan menjadi pelumas dalam tubuh Bangsa kita.

 

Lalu, saya kembali bertanya, sudah sampai manakah bangsa kita saat ini? Apakah pendidikan kita sudah jadi energi setiap hari?

 

Saya melanjutkan penelurusan pada tingkat literasi bangsa Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Budaya (Kemendikbud) telah menyusun Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) untuk melihat tingkat literasi di Indonesia. Di tahun 2020, rata-rata indeks Alibaca nasional berada di titik 37,32% yang tergolong rendah. Pengukuran ini dilihat dari beberapa faktor, yakni kecakapan, akses, alternatif, dan budaya.

 

Jika angka ini menjelaskan kurangnya minat masyarakat Indonesia untuk membaca, lalu dari mana sumber kekuatan kita untuk bisa tumbuh dan berkembang? Padahal, kalau dirunut dari sejarah perintah pertama Tuhan untuk manusia, ayat pertama yang difirmankan Tuhan pada Muhammad SAW adalah Iqra’, yang artinya bacalah.

 

Dari sini, Tuhan mungkin sudah memberikan bocoran, bahwa kunci pertama untuk manusia bisa menjalani hidupnya adalah membaca. Membaca menjadi kunci untuk membuka pintu kehidupan, menjelajahi seluruh alam semesta sebagaimana Tuhan hadiahkan untuk makhluk-Nya. Definisi membaca kemudian jadi sangat melampaui zaman.

 

Bagi beberapa orang, membaca mungkin adalah proses membosankan yang memakan waktu untuk sekedar membolak balikkan lembaran. Tapi, bagi sebagian lainnya, membaca adalah satu-satunya cara untuk menjadi manusia. Saya teringat, salah satu pendiri Bangsa yang memprediksikan pergerakan Indonesia adalah seorang kutu buku. Bung Hatta namanya. Ia pernah mengalami masa-masa kelam di tanah pembuangan. Di masa itu, Bung Hatta selalu ditemani peti-peti berisikan buku yang rutin dibaca, atau bahkan yang belum dibaca. Bung Hatta mengungkapkan “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas”. 

 

Selain itu, seorang tokoh agama terkemuka, Gus Dur,  acap kali meninggalkan kelas formal saat menjalani studinya di Al-Azhar. Ia pergi membaca di perpustakaan-perpustakaan yang besar, menonton film-film Prancis, dan ikut serta dalam pelbagai diskusi di kedai-kedai kopi. Hal ini tentu bukan tanpa alasan. Saat itu, dia harus mengikuti kelas khusus untuk memperbaiki pengetahuan mengenai bahasa Arab. Padahal, dia telah mempunyai sertifikat yang menunjukkan bahwa dia telah lulus studi yurisprudensi Islam, teologi, dan pelajaran lainnya, yang semuanya menggunakan bahasa Arab yang sangat baik. Tetapi dia tidak memiliki ijazah yang menunjukkan bahwa dia telah lulus kelas dasar bahasa Arab.

 

Sungguh, lembaran ijazah, naskah atau sertifikasi atas standar tertentu tidak bisa menjadi patokan kita memiliki kecerdasan dalam berpikir dan bertindak. Tetapi, setiap perkembangan, proses dan pergerakan kehidupan sosial manusia itu penuh dengan premis-premis, asal-maksud, yang tidak bisa sembarang dipahami, tanpa pengetahuan. Dan salah satu jalan termudah mendapatkan pengetahuan, adalah dengan membaca.

 

Akhirnya, saya mulai menemukan titik terang, dimanakah bangsa kita saat ini. Bangsa kita tidak sedang diam, namun juga tidak sedang berlari menuju suatu tempat. Bangsa ini sedang terengah-engah, banyak sekali pekerjaan rumah yang belum selesai dari masa ke masa. Membaca menjadi salah satu pekerjaan rumah yang belum selesai sampai saat ini. Bukan salah sistem pendidikannya, atau standar angka yang dikategorikan oleh lembaganya.

 

Bangsa ini mungkin selalu punya harapan, bahwa akan ada tunas-tunas seperti Prof. Dono, Bung Hatta, Gus Dur yang dapat meyakinkan masyarakat, bahwa mereka bisa menjadi nahkoda untuk melahirkan gagasan-gagasan yang sangat diperlukan untuk menyelesaikan persoalan bangsa.

 

Namun, kunci selanjutnya hanya dimiliki masyarakat. Maukah kita bergerak bersama, atau bergantung pada kekuatan nahkoda saja? Maukah kita berlayar tanpa peta, atau dengan peta? Maukah kita membaca untuk memenuhi perintah Tuhan? Semoga dengan tumbuhnya minat membaca, kita dapat menyehatkan tubuh bangsa dan menjawab persoalan Bangsa Indonesia di masa yang akan datang.(mit)

Categories: Pendidikan

Tags: Pendidikan,